Lapor Presiden, di Batam Pemain Beras Oplosan Jauh Lebih Kurang Ajar!

Batam, Headline180 Dilihat

BATAM – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto menyebut praktik pengoplosan beras subsidi menjadi beras premium sebagai perbuatan kurang ajar.

Pernyataan yang disampaikan dalam pidatonya pada acara Harlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ke-27 di JCC Senanyan, Jakarta, kemarin (24/7/2025) itu tegas, keras, dan sepenuhnya beralasan.

Di Batam, praktik serupa lebih brutal. Frasa kurang ajar saja tidak cukup. Yang terjadi di wilayah perbatasan ini bukan sekadar pengoplosan, ini adalah praktik sistematis dan terstruktur yang menyerupai operasi mafia pangan lintas batas negara.

Setiap bulan, diduga sedikitnya 300-500 kontainer beras asal Vietnam dan Thailand, melalui Singapura, masuk secara ilegal ke Batam.

Beras itu diduga masuk bukan melalui pelabuhan resmi, melainkan lewat pelabuhan-pelabuhan kecil yang dioperasikan oleh kelompok swasta. Ini adalah potret telanjang dari lemahnya kontrol negara terhadap wilayah perdagangan bebas (free trade zone) yang seharusnya menjadi kawasan strategis, bukan celah untuk pengkhianatan ekonomi.

Beras-beras tersebut dicampur ulang dengan beras lokal kualitas rendah, dikemas ulang dengan pelbagai merek lokal yang aneh-aneh namanya, lalu dijual ke pasar Batam sebagai “beras premium” di pasar ritel seharga Rp14.600 hingga Rp14.800 per kilogram.

Selisih harga dengan biaya impor dan kemas ulang yang hanya sekitar Rp10.000/kg memberi margin tak wajar: mencapai Rp50 miliar hingga Rp80 miliar per bulan. Jumlah yang cukup untuk membiayai pembangunan irigasi di lima provinsi atau subsidi benih untuk jutaan petani kecil.

Lebih parah lagi, negara bukan hanya kehilangan potensi penerimaan fiskal, tetapi juga kehilangan muka. Saat Presiden berteriak soal kedaulatan pangan, di Batam pasokan beras kita justru digerus oleh tangan-tangan rakus yang memanfaatkan celah hukum dan lemahnya penegakan aturan.

Ini bukan lagi soal pidana ekonomi. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanah konstitusi. Bahwa negara wajib melindungi kesejahteraan petani dan menjamin akses pangan layak bagi rakyat.

Ironisnya, praktik ini tidak berlangsung dalam bayang-bayang gelap. Gudang-gudang penyimpanan beras impor ilegal berdiri terang di suatu kawasan industri di Batam.

Modus operasinya terpantau jelas. Nama perusahaan dan pemiliknya dikenal luas. Lalu, mengapa praktik ini tetap berlangsung? Siapa yang melindungi? Mengapa tidak ada tindakan tegas?

Di Batam, kita berhadapan bukan hanya dengan pengoplos beras, tapi dengan kartel pangan yang menguasai distribusi bahan pokok dari hulu ke hilir.

Model bisnis mereka bukan hanya merusak tatanan ekonomi pasar, tetapi juga menghancurkan kepercayaan rakyat kepada negara.

Rantai nilai pangan yang seharusnya menjadi tulang punggung kedaulatan telah diretas oleh kepentingan rente dan pemain lama yang tak tersentuh hukum.

Komentar