BATAM – Di tengah perdebatan panjang soal status lahan di Kota Batam, tokoh masyarakat Kepulauan Riau, Sirajudin, datang membawa angin segar. Ia menegaskan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik BP Batam kini sah untuk ditingkatkan menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).
Bagi warga Batam, kabar ini ibarat jawaban dari keresahan lama. Puluhan tahun mereka hidup dengan status tanah “sewa”, membayar Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) yang kerap menimbulkan polemik.
“Kalau SHM sudah terbit, otomatis UWTO gugur. Pemilik tanah berhak penuh, lepas dari Kekuasaan BP Batam,” ujar Sirajudin, Kamis (4/9/2025).
Ia merujuk pada Keputusan Menteri ATR/BPN No. 1339/SK-HK.02/X/2022 dan PP Nomor 18 Tahun 2021 sebagai dasar hukum. Namun, ada syarat yang mesti dipenuhi: pemohon harus WNI perorangan, luas tanah maksimal 600 meter persegi, HGB masih berlaku atau habis masa berlaku, dan masih menyisahlan persolan yakni harus terlebih dahulu mndapat rekomendasi dari BP Batam
Selama ini, UWTO memang menjadi sumber pendapatan BP Batam yang pada tahap awal digunakan untuk mendanai Pembangunan infrastruktur tetapi ketika Pembangunan Prasarana seperti dikawasan permukiman dan Kawasan Industri telah dibangun oleh pihak Pengembang, justru tagihan UWTO datang dengan kenaikan baru.
Dalam laporan keuangan 2022, angka itu masih dicatat khusus. Tapi sejak 2023, pendapatan UWTO tak lagi dipisahkan, melainkan masuk dalam total penerimaan BP Batam. Yang Penggunaannya juga langsung oleh BP Batam.
Di sisi lain, sektor industri punya cerita berbeda. Tarif UWTO yang dikenakan justru sangat rendah, hanya Rp70 ribu sampai Rp170 ribu per meter persegi untuk 30 tahun. Padahal di kawasan industri seperti Bekasi, harga lahan bisa mencapai Rp2 juta hingga Rp3 juta per meter persegi.
“Tarif yang murah ini tidak sehat. Kalau sektor industri dan komersial disesuaikan, pendapatan BP Batam tetap bisa optimal. Bahkan UWTO rumah tinggal bisa dihapus,” jelas Sirajudin, tapi daya saing Industri harus diperhatikan juga.
Menurutnya, beban UWTO rumah tangga justru menimbulkan kesan tidak adil. Sementara industri mendapat tarif murah, masyarakat harus terus menanggung pembayaran tahunan di atas rumah yang mereka tempati.
Sirajudin menilai, sudah saatnya BP Batam berani melakukan reformasi. “Kebijakan yang perlu diambil adalah membebaskan tarif industri dan komersial, atau pada tahap awal membebaskan rumah tinggal dari UWTO. Dengan begitu, iklim investasi menjadi lebih kompetitif, masyarakat juga lebih tenang,” tambahnya.
Pungutan UWTO pada tahap awal Pembangunan Batam masih bisa diterima oleh masyarakat tetapi ketika kebiasaan itu terus berlanjut masyarakat merasa ketidakadilan Karena masyarakat merasa dipajak berulang, selain UWTO masih ada lgi PBB dan BPHTB.
Bagi banyak warga Batam, harapan itu sederhana: memiliki tanah dan rumah dengan status kepemilikan penuh. Jika SHM benar-benar bisa diterapkan, maka beban UWTO yang membelit bertahun-tahun bisa segera menjadi bagian dari sejarah.
Komentar