BATAM – Masyarakat pesisir Kecamatan Bulang, Kota Batam, yang didampingi NGO Lingkungan Akar Bhumi Indonesia, menyatakan keberatan dan protes keras terhadap kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh PT Bayu Pariama Batam (Rhabayu Group) di kawasan hulu Sungai Langkai.
Reklamasi tersebut diperuntukkan bagi pembangunan Perumahan Rhabayu Green 2 dan 3 yang berlokasi di sekitar titik koordinat 1°01’01.5″N103°57’56.1″E.
Aktivitas reklamasi ini diduga telah menyebabkan pencemaran perairan dan pendangkalan sungai, yang berdampak langsung pada hasil tangkapan nelayan tradisional di Pulau Labu, Pulau Buluh, Pulau Air, serta pulau-pulau di sekitarnya.
Berdasarkan temuan lapangan, pematangan lahan dilakukan pada area seluas kurang lebih 8 hektare, dengan penimbunan ekosistem mangrove mencapai sekitar 4 hektare.
Tokoh masyarakat Pulau Labu, Subur (45), menegaskan bahwa kegiatan reklamasi tersebut berlangsung tanpa pelibatan masyarakat pesisir yang selama ini menggantungkan hidup dari wilayah perairan tersebut.

Ia mempertanyakan kejelasan perizinan reklamasi, penerbitan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam, serta status kepemilikan lahan di area yang direklamasi.
“Kami hidup dari laut dan sungai di wilayah ini. Sekarang air menjadi keruh, mangrove rusak, dan hasil tangkapan menurun. Masyarakat tidak pernah diajak bicara sejakawal,” ujarnya.
Senada dengan itu, Muhammad Safit (49), Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Bulang, menyampaikan bahwa reklamasi telah mencemari ruang tangkap nelayan pantai dan menurnkan hasil tangkapan udang, kepiting, dan ikan.
la menyebutkan sekitar 300 nelayan aktif terdampak langsung akibat meningkatnya kekeruhan air dan sedimentasi di sungai serta perairan pesisir.
“Daerah Aliran Sungai (DAS) Ini adalah ruang tangkap nelayan tradisional yang kami bersama-sama pemerintah melalui program penanaman dan pemulihan DAS menjadi terancam akibat reklamasi tanpa pengamanan, sedimentasi lumpur kami lihat langsung masuk ke sungai dan laut. Dampaknya sangat terasa pada hasil tangkapan nelayan,” jelasnya.
Sementara itu, Mahendra (32), Ketua Bulang Perkasa sekaligus nelayan Kelurahan Batu Legong, menyebut material tanah reklamasi diambil dari aktivitas pemotongan bukit disebelah pipa PGN, dan kawasan yang direklamasi sebelumnya merupakan ekosistem mangrove yang masih utuh dan sehat.

Menurutnya, kerusakan mangrove di satu titik akan menyebar mengikuti arus laut dan berpotensi merusak biota laut dalam skala yang lebih luas.
Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, menyampaikan bahwa pihaknya melakukan peninjauan langsung ke lokasi pada Rabu (17 Desember 2025) lalu, berdasarkan laporan masyarakat dua minggu sebelum verifikasi tersebut, dan menemukan papan pemberitahuan bahwa proyek tersebut dalam pengawasan BP Batam saat verifikasi.
“Hasil verifikasi lapangan menunjukkan reklamasi dilakukan di kawasan mangrove yang masih sangat baik, dengan vegetasi yang lengkap dan beragam. Kami juga tidak menemukan adanya upaya pengendalian dampak lingkungan, seperti pemasangan pengaman sedimentasi,” ujar Hendrik.
la menambahkan, terdapat dugaan pelanggaran terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau-Pulau Kecil.·Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.·Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
“Kami akan melaporkan temuan ini kepada Kementerian Lingkungan Hidup sebagai bagian dari upaya advokasi perlindungan lingkungan dan keberlanjutan hidup masyarakat pesisir,” tambahnya.

Masyarakat pesisir Kecamatan Bulang mendesak penghentian sementara kegiatan reklamasi, keterbukaan dokumen perizinan dan AMDAL, pelibatan masyarakat dan nelayan terdampak, serta pemulihan ekosistem mangrove dan sungai yang telah rusak.
“Pada prinsipnya masyarakat tidak menolak pembangunan. Namun pembangunan harus dilakukan secara adil, transparan, dan tidak merusak lingkungan yang menjadi sumber kehidupan nelayan pesisir,” ujar Hendrik.
Akar Bhumi Indonesia juga menyoroti kedekatan lokasi reklamasi dengan Hutan Lindung Sei Pelungut, yang hingga saat ini masih memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Berdasarkan pengamatan lapangan dan keterangan masyarakat, kawasan hutan lindung tersebut masih menjadi habitat berbagai jenis burung, kera/monyet, serta satwa liar lainnya, bahkan ditemukan keberadaan buaya di sekitar aliran sungai.
Keberadaan satwa-satwa tersebut menunjukkan bahwa ekosistem di kawasan ini masih relatif sehat dan sangat bergantung pada kualitas air sungai dan tutupan mangrove. Namun, meningkatnya kekeruhan air akibat sedimentasi reklamasi dikhawatirkan akan mengganggu habitat alami satwa dan mendorong konflik satwa-manusia di kemudian hari.








Komentar