Puisi “Doa dari Seberang Samudera” Menggema di HUT Ketua DPRD Kepri Iman Sutiawan

Batam, Berita, Headline8 Dilihat

BATAM – Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Riau, Iman Sutiawan, merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 secara sederhana namun khidmat di kediamannya di kawasan Patam Lestari, Sekupang, Kamis siang (6/11/20025).

Dalam acara yang dihadiri keluarga, sahabat dekat, sejumlah anggota DPRD Kepri dan DPRD Kota Batam, Kepala Kemenag Batam, tokoh masyarakat, serta para santri itu, suasana berlangsung hangat dan penuh kekeluargaan.

Momen menarik terjadi ketika Iman membacakan puisi berjudul “Doa Sederhana dari Seberang Samudera”, karya sastrawan Kepri Ramon Damora. Dengan intonasi tenang dan ekspresi penuh penghayatan, Iman menuturkan bait demi bait puisi yang menggambarkan dirinya sebagai anak pulau yang tumbuh dengan keteguhan dan ketulusan.

“Puisi ini menjadi kado istimewa bagi saya, hadiah dari seorang sahabat,” ujar Iman usai membacakan puisi tersebut.

Puisi karya Ramon Damora yang juga komisioner KPID Kepri itu bercerita tentang sosok anak pulau yang memahami arti laut bukan sekadar bentang air, melainkan ruang kehidupan yang membentuk karakter manusia. Dalam salah satu baitnya, tertulis kalimat reflektif: “Pulau adalah darahku. Dan kami mengerti: darah itu adalah laut yang tak pernah selesai mengajarkan makna pulang.”

Sebagai putra kelahiran Pulau Kasu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Iman mengaku puisi tersebut menyentuh sisi terdalam dirinya. “Saya membaca puisi ini dengan hati. Saya tahu betul bagaimana perjuangan orang hinterland,” katanya.

Iman Sutiawan merupakan Ketua Partai Gerindra yang juga Ketua DPRD Kepri periode 2024–2029. Sebelumnya, ia pernah dua kali menduduki jabatan Wakil Ketua DPRD Kota Batam pada periode 2014–2019 dan 2019–2020.

Bagi Iman, perjalanan hidup dari pulau kecil hingga ke kursi parlemen provinsi adalah bagian dari tanggung jawab moral untuk memperjuangkan masyarakat pesisir dan kepulauan. “Saya hanya ingin laut tidak lagi menjadi batas bagi manusia,” ucapnya.

Acara perayaan ulang tahun tersebut diakhiri dengan doa bersama, ramah tamah, dan hiburan. Tanpa kemewahan, namun penuh makna — seperti laut yang tenang, menyimpan kisah salah seorang anak terbaik Kepri dalam segala ketulusan.

Berikut puisinya:

Doa dari Seberang Samudera
~ Kepada Bang Iman Sutiawan

Seseorang datang dari gelombang paling jauh — sehelai suara lembut yang tumbuh dari rahim pulau.

“Pulau adalah darahku,” katanya.

Dan kami mengerti: darah itu adalah laut yang tak pernah selesai mengajarkan makna pulang.

Ia berjalan dari kampung tempat angin mengaji, dari senyum asin nelayan yang menjemur harap, di atas papan-papan yang dikelupas matahari.

Ia tahu bagaimana perahu menjadi doa,
bagaimana jarak adalah nasib yang menua dalam kesunyian. Ia tahu arti sebuah penantian pada ombak yang datang tanpa jaminan.

Maka ketika ia berdiri di hadapan negeri ini, tak ada gemuruh tepuk tangan yang ia kejar, karena ia sendiri adalah tepukan lembut takdir pada bahu dunia yang letih, tak ada mahkota yang ia cari. Ia hanya ingin laut tidak lagi menjadi batas bagi manusia.

Ia datang dengan ketulusan yang seperti sungai: mengalir tanpa peta, namun sampai pada semua rumah-rumah yang menaruh harapan.

Lalu dia bilang: kita bukan superman…

Duhai, betapa merendahnya cahaya ketika bersinar di tangan yang tenang.
Sebab yang kau bawa bukanlah keajaiban, tapi, agaknya, kesabaran: yang lebih kuat dari gelombang, yang lebih dalam dari karang, lebih setia dari mercusuar.

Duhai anak pulau, kau telah menjadi jembatan bagi mereka yang selama ini berbicara kepada laut, tetapi tak pernah didengar kota. Usia adalah gelombang yang datang silih berganti. Namun hari ini, 6 November 2025, 15 Jumadil Awal 1447 Hijriah, laut tampak tenang sekali, angin seperti sedang membaca sebuah nama yang takkan pernah berhenti memberi arti.

Kami belum layak memberi selamat kepadamu, karena engkau telah lebih dulu menebar selamat bagi banyak hidup. Kami hanya menitipkan satu doa yang sederhana dari seberang samudera: semoga langkahmu selalu kembali kepada cinta yang semula jadi itu, cinta yang bergemuruh ketika engkau berkata: “saya melakukan semua ini dengan hati…”

Kepada engkau yang lahir di sebuah pulau yang tidak muncul pada ramalan cuaca televisi. Kepada engkau yang tumbuh di tempat di mana angin tahu banyak rahasia, dan orang belajar menghitung jarak dari ombak, bukan dari kalender.

Kepada engkau yang tidak tergesa-gesa menjadi siapa-siapa, sebab di pulau semua orang tahu bahwa bahkan kelapa jatuh pun punya waktunya sendiri, dengarlah; kami titipkan perahu, sampan, jaring, mimpi, duka nestapa…

Dirgahayu, Bang Iman. Kepadamu kami akan selalu belajar bagaimana beriman kepada cara pulau bersujud dan mencintai: senyap, setia, tapi tidak meminta disaksikan.

Komentar