BATAM – Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penyelenggaraan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU) Perumahan di DPRD Kota Batam mendapat perhatian serius dari warga.
Selain mendukung percepatan regulasi tersebut, warga menilai Perda PSU harus menjadi instrumen yang menjamin transparansi dan pengawasan terhadap pembangunan perumahan oleh pihak pengembang.
Salah satu masukan datang dari Daeng Harianto, Ketua Pejuang Masjid Central Hills. Ia menilai ranperda yang tengah dibahas DPRD Batam ini merupakan momentum untuk memperbaiki persoalan klasik terkait pengelolaan PSU mulai dari penyerahan aset, perubahan site plan, hingga pemanfaatan fasum dan fasos.
“Kami mengapresiasi langkah DPRD Batam. Namun regulasi ini harus memberi kepastian bagi warga, terutama soal transparansi developer saat membangun perumahan,” ujar Daeng, Kamis (27/11/2025).
Menurut Daeng, masalah utama yang kerap muncul adalah ketidakjelasan waktu penyerahan PSU dari pengembang kepada pemerintah. Ia mencontohkan ketentuan dalam Perwako Batam Nomor 184 Tahun 2023 yang mengatur penyerahan PSU satu tahun setelah masa pemeliharaan selesai.
Kondisi seperti ini, lanjutnya, berpotensi menimbulkan perselisihan antara warga dan pengembang, terutama terkait pemanfaatan fasum dan fasos.
“Jika penyerahan menunggu pembangunan selesai 100 persen, siapa yang bisa menjamin kapan selesai? Kalau tidak selesai, maka tidak ada penyerahan ke pemerintah,” ucapnya.
Daeng juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan PSU. Ia menduga proses serah terima selama ini cenderung bersifat administratif tanpa pengecekan fisik yang memadai.
“Apa ada pengukuran lapangan? Apa ada pengawasan berkala? Jangan-jangan hanya serah terima formalitas, main cap saja,” tegasnya.
Ia merujuk pada kondisi di lingkungan perumahannya sendiri, yang menurutnya mengalami perubahan site plan tanpa melibatkan warga. Mulai dari penyempitan ROW jalan, penghilangan bundaran, hingga pergeseran lokasi lahan komersial ke area fasilitas umum.
Daeng mengusulkan sistem penyerahan PSU dilakukan secara bertahap, sesuai skala kepentingannya bagi warga. Misalnya, fasum dan fasos yang menjadi kebutuhan dasar warga diserahkan lebih awal saat pembangunan masih 10 persen, sementara infrastruktur seperti jalan dan drainase dapat diserahkan ketika progres mencapai 70—100 persen.
“Warga butuh kepastian. Jangan sampai developer berdalih menunggu selesai semua pembangunan, sementara warga sudah membutuhkan fasum untuk kegiatan sosial, termasuk rumah ibadah. Minimal yang PSU yang efektif 6% itu bisa diserahkan ke Pemerintah lebih dulu. Agar bisa di gunakan warga. Jangan menunggu satu tahun setelah masa pemeliharaan,” ujarnya.
Daeng menuturkan pengalamannya dalam memperjuangkan lahan masjid di kawasan tempat tinggalnya. Hingga kini, persoalan tersebut belum terselesaikan karena lahan yang semula dijanjikan masuk dalam area PSU belum diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah.
“Ini kebutuhan penting bagi warga. Jika penyerahan PSU lebih jelas, pemerintah bisa lebih tegas terhadap developer,” katanya.
Melihat berbagai persoalan tersebut, Daeng menilai Perda PSU yang sedang disusun DPRD Batam harus mengedepankan aspek pengawasan, verifikasi fisik, dan transparansi dokumen. Dengan begitu, serah terima PSU tidak hanya menjadi formalitas administratif, tetapi benar-benar mencerminkan kondisi fisik di lapangan.
“Kami berharap Perda ini menjadi payung hukum yang kuat agar konflik antara warga dan developer tidak berulang. Perda, Perwako dan yang ada di Fatwa Planologi harus sejalan. Jangan pula tidak singkron. Ditempat kami, di fatwa Planologi dari BP itu ada kata lahan Masjid, Sekolah Dasar (SD) hingga SMA. Tapi di lapangan itu tidak ada lahannya,” pungkasnya.















Komentar